Memasuki tahun politik dimana 2024 akan diadakan pemilihan umum (pemilu) serentak, para calon legislatif hingga calon presiden sudah memulai segala taktik dan pergerakannya untuk mengambil hati masyarakat demi meraup suara terbanyak di ajang pemilu yang akan datang.

Salah satu kelompok pemilih yang paling potensial untuk dilirik adalah kaum muda, khususnya Generasi Z (Gen Z). 

Gen Z yang juga dikenal sebagai generasi milenial kedua adalah kelompok masyarakat yang lahir kisaran tahun 1997 hingga 2012. Pada sensus penduduk tahun 2020, tercatat penduduk Indonesia didominasi Gen-Z dengan jumlah 75,49 juta jiwa atau sebesar 27,49 persen dari 270,2 juta jiwa total penduduk Indonesia.

Jika selama ini kaum muda dianggap cenderung apatis terhadap hal-hal yang berbau politik, fenomena yang terjadi belakangan justru menggambarkan sebaliknya. 

Melihat kasus yang sempat viral beberapa waktu lalu, seorang pemuda asal Lampung bernama Bima Yudho Saputro mengkritik pemerintahan Provinsi Lampung mengenai infrakstruktur, tata kelola pendidikan, birokrasi, pertanian, hingga proyek Kota Baru yang mangkrak melalui akun TikTok miliknya. Alih-alih aspirasinya ditampung, pemuda berusia 23 tahun ini malah dilaporkan oleh pemerintah Lampung atas tuduhan ujaran kebencian yang mengandung SARA.

Sikap pemerintah Provinsi Lampung yang dianggap anti-kritik ini menuai banyak reaksi oleh masyarakat, khususnya netizen Indonesia. Puncaknya, Persiden Republik Indonesia Joko Widodo hingga turun langsung ke Lampung untuk meninjau infrakstruktur jalan yang dikeluhkan rusak parah oleh warga. Dari fenomena ini, bisa dilihat bagaimana peranan Gen Z yang memiliki kepedulian dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah hingga ke pusat.

Lantas, seperti apakah karakteristik dari pandangan politik dari Gen Z, terutama dalam konteks pemilu? Dalam konteks ini, Gen Z memiliki pandangan politik yang cukup berbeda dengan kelompok demografi yang lebih tua. 

Kelompok ini cenderung lebih progresif dan lebih concern terhadap isu-isu seperti perubahan iklim, infrastruktur, hak minoritas, kesehatan mental, kesetaraan gender, hingga LGBT.

Gen Z yang tumbuh di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan informasi, memiliki keunikan tersendiri dalam menerima dan mengelola informasi yang diterimanya, sehingga kemampuan mereka dalam menggunakan teknologi akan sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan partisipasinya dalam politik. 

Gen Z adalah kelompok yang sangat memedulikan keseimbangan antara hidup dan bekerja, mereka lebih mementingkan hal-hal yang relevan dengan kehidupan sehari-harinya.

Dari hasil survei Litbang Kompas periode Januari 2023 ini mencatat ada tiga fenomena yang bisa dipakai untuk memahami bagaimana pemilih dari kelompok Gen Z yang berusia di kisaran 17-26 tahun ini dalam memandang Pemilu 2024.

Pertama, kemudahan dan tidak direpotkan dengan banyaknya surat suara boleh jadi lebih dekat dengan gaya anak-anak muda yang identik dengan hal-hal yang serba praktis dan cepat. 

Kedua, kelompok pemilih Gen Z antusiasme memilihnya cenderung lebih tertuju pada kontestasi pemilihan presiden. Ketiga, minat Gen Z untuk menggunakan hak suaranya sangat tinggi, tercatat hanya 0,6 persen dari kelompok responden gen Z yang berniat golput.

Melihat preferensi Gen Z dalam memilih calon pemimpin, kelompok ini sangat menghindari tokoh yang intoleran dan pernah terlibat dalam kasus korupsi. 

Sebagai generasi yang melek teknologi, tentu Gen Z memiliki kecenderungan untuk menelaah track-record dari calon legislatif hingga calon presiden yang akan dipilihnya di internet. Selain integritas, jejak digital yang ‘bersih’ tentu menjadi pertimbangan yang sangat krusial bagi kelompok ini.

Selain melihat potensi Gen Z yang besar dalam memberikan suaranya, ruang dan kesempatan untuk kelompok muda ini perlu dibuka seluas-luasnya untuk dapat berpartisipasi dalam memajukan Indonesia ke depannya. *