www.transriau.com
19:58 WIB - Pererat Silaturahmi, JNE Gelar Halal Bihalal bersama Media Pekanbaru | 19:34 WIB - Hari Pertama dibuka, Lima Orang Bacalon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau Mendaftar ke PDI Perjuangan | 13:59 WIB - Menjelajah Dunia Migas di Dumai Expo 2024: Edukasi dan Kontribusi untuk Masa Depan | 11:41 WIB - Rangkaian HUT ke-7 Tahun, SMSI Riau Gelar Workshop 'Publisher Rights' Bersama Ketua Dewan Pers | 11:30 WIB - IOH Catat Lonjakan Trafik Data Sebesar 17% Sepanjang Hari Raya Idul Fitri | 09:50 WIB - BRK Syariah Buka Sentra UMKM Di Kantor Arifin Ahmad
  Jum'at, 26 April 2024 | Jam Digital
Follow:
 
Oleh: Makmur Hendrik
Perambahan Hutan: Negara Kalah di Buluhcina
Jumat, 11/09/2015 - 21:54:58 WIB

Paling tidak, dari sisi regulasi,  Negara memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang Sebagai Perangkat Perlindungan Atas Hutan, di manapun di seluruh wilayah republik
 
Dari sisi aparat penegakan hukum, agar Undang-Undang itu ditaati tanpa kecuali, Negara memiliki aparat penegakan hukum di setiap provinsi. Undang-Undang itu secara jelas memaparkan tentang perlindungan, pengawasan, penguasaan, pengelolaan, dan sanksi pidana. Bagi yang melanggar, siapapun, Undang-undang tersebut menetapkan pidana antara 5 sampai 10 tahun, dengan denda 15 Milyar rupiah sampai 50 Milyar rupiah, dan seluruh alat yang digunakan berikut lahannya disita menjadi milik negara.

Namun ironisnya di hutan Kawasan Wisata Alam (KWA) Desa Buluhcina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar - Riau, Undang-Undang yang ancamannya sangat jelas itu, dengan aparat penegak hukum yang lebih dari cukup jumlahnya, Negara ternyata kalah dan dibuat tak berdaya!

Perambahan hutan Kawasan Wisata Alam itu terjadi sejak tahun 2008, saat Kalpataru dicabut karena ada kelompok ninik mamak dan aparat desa yang berbohong kepada panitia penilai Kalpataru dan Team yang dikirim Kementerian Lingkungan Hidup, sampai sekarang (2015).

Illegal loging dan perambahan untuk dijadikan kebun sawit tetap berlangsung tanpa tindakan apapun oleh aparat penegak hukum dari instansi manapun! Kerusaakan hutan Kawasan Wisata Alam yang luasnya 1.000 Ha itu sudah mencapai ratusan hektare.

Apakah penyebabnya karena tidak ada yang melaporkannya kepada pihak terkait, atau karena lokasi hutan Kawasan Wisata Alam itu amat jauh dari pusat kota dan amat tersembunyi?

Tentang laporan, sejak tahun 2008 itu berbagai pihak di desa itu yang ingin hutan tersebut diselamatkan telah berkali-kali, sekali lagi "sudah berkali-kali", melaporkan illegal loging dan perambahan hutan tersebut kepada semua pihak terkait, terutama Kementerian Kehutanan. Tembusan laporan itu disampaikan ke DPRD kabupaten, Provinsi dan DPR RI bahkan Presiden!

Selain eksekutif, laporan juga disampaikan kepada Legislatif, Yudikatif dan Walhi di semua tingkatan. Lewat apa laporan disampaikan? Ke semua pihak laporan disampaikan secara tertulis. Untuk pihak-pihak tertentu laporan ditambah lewat telepon dan sms, berkali-kali!

Tentang lokasi, apakah lokasinya amat jauh dan tersembunyi di tengah hutan belantara yang amat luas? Jarak Buluhcina hanya 25 Km dari Pekanbaru sebagai ibu kota Provinsi. Bisa dicapai hanya dalam 30 menit dengan mobil menempuh jalan beraspal

Lagipula, hampir setiap hari ke hutan itu banyak sekali orang dari Pekanbaru berwisata ke desa tersebut, atau memancing di 7 buah danau alam (ox bow) yang ada di dalam hutan indah yang terletak persis di belakang desa wisata itu

Hutan basah tropis seluas 1.000 hektare yang berstatus  Kawasan Wisata Alam di Buluhcina itu setiap hari dengan setia mengirim oksigen bagi paru-paru 1 juta lebih penduduk Kota Pekanbaru dan kecamatan padat penduduk di sekitarnya.

Diserahkan ke Pemprov

Pada tahun 2004 atas nama masyarakat, Pemdes dan ninik mamak serta Ketua LMB menyerahkan hutan seluas 1.000 ha kepada Pemerintah Provinsi Riau untuk dijadikan hutan wisata. Penyerahan hutan ini didasarkan pada keyakinan:

1. Menjaga hutan seluas 1.000 hektar bukanlah pekerjaan yang mudah, dan itu hanya bisa dilakukan oleh pemerintah.
2. Jika pemerintah membangunnya menjadi hutan wisata, tentu dilengkapi berbagai bangunan dan fasilitas, yang semuanya akan menjadi "milik" masyarakat Buluhcina.
3. Dengan sosialisasi yang gencar, wisatawan lokal, dalam maupun luar negeri akan berdatangan. Efek ekonominya akan dinikmati masyarakat Buluhcina.
4. Manfaat hutan itu dijadikan hutan wisata bisa dinikmati sampai ke anak cucu, juga amat bermanfaat sebagai sumber oksigen bagi daerah ini secara menyeluruh. Kalau hutan ditebang untuk dijual atau dijadikan ladang, dalam beberapa tahun akan punah.
5. Kekayaan berupa hutan dan ratusan jenis tetumbuhan tropis lainnya, termasuk segenap primata yang hidup di dalamnya seperti berbagai jenis burung, elang, enggang, kupu-kupu, landak, musang, rusa, kijang, babi, siamang, monyet dan ular tetap terlindungi.

Atas hutan ulayat ada "hak adat" yang berbunyi "Ke rimba berbunga kayu, ke ladang berbunga padi". Maknanya adalah:

1. Masyarakat adat bebas menebang hutan ulayatnya, kayunya untuk bahan rumah atau dijual, hasilnya untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

2. Masyarakat adat bebas menebang hutan untuk membuat ladang guna  bertanam padi, jagung dan lain-lain untuk kehidupan mereka

Dengan diserahkannya 1.000 Ha hutan ulayat tersebut kepada pemerintah, secara ikhlas pula mereka melepaskan "hak adat" yang mereka miliki itu. Di hutan yang 1.000 ha tersebut mereka tidak lagi akan menebang kayunya, baik untuk bahan perumahan, baik untuk dijual maupun untuk membuat ladang.

Saat penyerahan hutan ulayat yang 1.000 ha itu, pada dokumen yang sama, masyarakat adat Buluhcina meminta semacam "kompensasi" berupa permohonan dibuatkan kebun di sisa tanah yang 1.500 Ha lagi, yang letaknya berbatasan dengan tanah 1.000 Ha yang diserahkan tersebut.

Pemerintah, provinsi maupun kabupaten, tidak perlu keluar uang satu sen pun untuk  membangunkan kebun bagi masyarakat Buluhcina tersebut. Cukup mencarikan kontraktor atau bapak angkat yang akan mengerjakannya. Sebab:

1. Di luar 1.000 ha yang diserahkan ke Pemprov, masyarakat masih memiliki tanah ulayat seluas  1.500 Ha lagi.
2. Biaya pembeli bibit, penyiapan lahan, penanaman dan perawatan dipotong dari bahagian masyarakat saat panen.

Penyerahan hutan ulayat untuk dijadikan hutan wisata yang 1.000 Ha itu, pada Tahun 2004, diterima langsung oleh Gubernur Riau H.M Rusli Zainal dalam sebuat upacara di Buluhcina.

Atas penyerahan hutan tersebut, dua tahun kemudian, tepatnya Tahun 2006, Gubernur mengeluarkan Keputusan No.KPTS.468/IX/2006 yang menetapkan hutan ulayat Desa Buluhcina seluas 1.000 hektar itu sebagai Hutan Wisata Provinsi Riau. Penetapan baru dilakukan dua tahun sejak diserahkan karena Pemprov bersama Dinas-dinas terkait memerlukan penelitian, pengkajian dan pengkuran yang teliti

Sejak ditetapkan, masyarakat desa itu kemudian bahu membahu menjaganya. Wisatawan, lokal maupun mancanegara, berdatangan dan mengagumi hutan dengan 7 danau yang dipenuhi kayu-kayu besar berusia ratusan tahun tersebut.Mereka mengetahui keberadaan hutan wisata itu lewat internet

Dedikasi tanpa pamrih masyarakat adat desa itu dalam menjaga hutannya diapresiasi Pemerintah dengan Anugerah Kalpataru yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008.

Mulai Dibabat

Namun hanya selang sebulan setelah Kalpataru diterima, hutan tropis basah yang menimbulkan decak kagum itu porak poranda oleh deru eskapator. Pembabatan hutan dilakukan oknum ninik mamak dan oknum pemerintah desa untuk membuat jalan bagi kepentingan investor yang membeli lahan di belakang hutan tersebut.

Untuk membuat jalan tersebut, hutan wisata itu dibabat seluas 20 x 4.000 merter. Ratusan batang kayu ditumbangkan, puluhan batang diantaranya berusia ratusan tahun.Kayunya kemudian dijual.

Beberapa orang masyarakat Buluhcina yang terkejut dan marah melaporkan pembabatan hutan itu ke Bupati, Polisi, Gubernur, Menteri Kehuatanan dan Menteri Lingkungan Hidup yang memberikan anugerah Kalpataru.

Kementerian Lingkungan Hidup menurunkan Team melakukan pemeriksaan. Oknum ninik mamak mengatakan pembabatan hutan wisata itu untuk menolong tiga desa di belakang hutan itu agar terlepas dari keterisoliran. Team Lingkungan Hidup mewawancarai banyak orang dan memeriksa hutan yang dibabat

Mereka menemukan bukti bahwa alasan "menolong masyarakat tiga desa agar terlepas dari keterisoliran" ternyata hanya suatu kebohongan. Untuk ke Pekanbaru masyarakat tiga desa di belakang hutan wisata itu sudah punya akses jalan aspal lewat Simpang Lubuk Sakat dan Teratak Buluh

Konkretnya, Team dan Kementerian Lingkungan Hidup menemukan fakta yang tak terbantah bahwa hutan wisata itu dibabat untuk membuat jalan untuk kepentingan investor yang membeli tanah di belakang hutan itu

Berdasar temuan itu, Kalpataru yang baru tiga bulan berada di rumah ninik mamak Desa Buluhcina dicabut dan ditarik kembali ke Jakarta. Kasus ini adalah satu-satunya yang terjadi dalam sejarah anugerah Kalpataru

Kasus pencabutan Kalpataru yang belum pernah terjadi itu tidak hanya memper malukan sebagian masyarakat Buluhcina yang dengan penuh dedikasi menjaga hutan itu, tapi juga masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Kampar dan masyarakat serta Pemerintah Provinsi Riau.

Tidak Diproses Hukum

Karena para pelaku pembabat hutan itu tidak diproses secara hukum, kendati berkali-kali didesak, maka perusakan hutan tersebut tetap berlanjut sampai hari ini. Kini perusakan hutan berstatus Kawasan Wisata Alam (KWA) tersebut selain berupa illegal loging, dimana kayunya dijual ke pasar gelap, tanah hutan yang dirusak itu dijadikan kebun sawit. Hutan yang dirusak dan dijadikan kebun sawit itu sudah mencapai ratusan hektar

Terakhir Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan No. SK.3587/Menhut-VII /KUH/2014 tertanggal 2 Mei 2014 Tentang Penetapan Hutan Kawasan Wisata Alam Buluhcina seluas 963.33 hektar di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

SK Menhut itu sudah disampaikan kepada Kades Buluhcina, sekaligus meminta agar SK itu disosialisasikan, berikut ancaman yang ada di dalam UU sebagaimana disebutkan di awal tulisan

Berhentikah illegal loging dan peruasakan hutan wisata itu? Tidak! Illegal loging dan perusakan hutan di Buluhcina masih terjadi, secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, sampai hari ini tanpa tindakan apapun dari penegak hukum. Dalam kasus ini, Negara memang kalah dan tidak hadir di sana!

Pekanbaru, 18 Agustus 2015.

#Wartawan Senior,
 mantan Komisioner KPU Riau

HP No. 081219130989
Rek. Bank Mandiri No. 108-00-0516592-4
T.Tgl Lahir: Buluhcina, 7 Juni 1947
Alamat: Jalan Kandis No. 13A, Harapan Raya Pekanbaru.







 
TRANS OPINI
Dilema Fenomena “Wartawan Amplop”
Antara Integritas dan Kesejahteraan
17/03/2019 | 18:53 Wib
NETRALITAS ASN PADA PEMILU 2019
Caleg Baru VS Incumbent
Waspadai "Perampokan Suara" dalam Pilkada
Tahun Baru Islam, Refleksi Umat Untuk Memperbaiki Keislaman
Setia Amanah untuk Andi Rachman
Pilkada Kota Pekanbaru 2017
SIAPA YANG BAKAL MENANG…??
Membangun Kemajuan Peradaban Islam Dengan Pendidikan Berkualitas Menuju Era Mea Di Perguruan Tinggi
 
Follow:
Pemprov Riau | Pemko Pekanbaru | Pemkab Siak | Pemkab Inhu | Pemkab Rohil | Pemkab Kampar | DPRD Rohil | DPRD Pekanbaru
Redaksi Disclaimer Pedoman Tentang Kami Info Iklan
© 2015-2016 PT. Trans Media Riau, All Rights Reserved