www.transriau.com
21:07 WIB - PTPN IV Regional III Meriahkan Pameran Akbar di Kampar | 21:27 WIB - Sebanyak 1.414 JCH Nasabah Bank Riau Kepri Syariah Berangkat Haji Tahun Ini | 19:58 WIB - Pererat Silaturahmi, JNE Gelar Halal Bihalal bersama Media Pekanbaru | 19:34 WIB - Hari Pertama dibuka, Lima Orang Bacalon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau Mendaftar ke PDI Perjuangan | 13:59 WIB - Menjelajah Dunia Migas di Dumai Expo 2024: Edukasi dan Kontribusi untuk Masa Depan | 11:41 WIB - Rangkaian HUT ke-7 Tahun, SMSI Riau Gelar Workshop 'Publisher Rights' Bersama Ketua Dewan Pers
  Minggu, 28 April 2024 | Jam Digital
Follow:
 
Dilema Fenomena “Wartawan Amplop”
Antara Integritas dan Kesejahteraan
Minggu, 09/07/2023 - 19:27:32 WIB

Wartawan adalah sebuah profesi. Ia harus memiliki keahlian khusus, pengetahuan luas dibidangnya dan sikap sesuai dengan kode etik atau etika yang berlaku yaitu kode etik jurnalistik. Wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara yang punya kode etik.

Kesejahteraan seorang wartawan akan berpengaruh terhadap integritas dan profesionalismenya dalam menjalankan profesi. Undang-Undang No 40 Tahun 1999 merupakan wujud dari kedaulatan rakyat yang menempatkan pers atau wartawan adalah pilar keempat demokrasi. Demokrasi ini pun ditegakkan melalui keterbukaan informasi kepada masyarakat tanpa ada kepentingan pribadi di dalamnya.

Ibaratkan sebuah pohon, semakin tinggi pohon ini maka akan lebih besar pula angin yang dihadapinya. Begitu pula seorang wartawan. Beban yang besar sebagai penegak pilar demokrasi keempat di Indonesia yang setara dengan pemangku jabatan legislatif, yudikatif, dan eksekutif di Indonesia. Tentunya pers ini akan menghadapi rintangan yang sepadan dengan posisi mereka sebagai pilar demokrasi keempat.

Integritas seorang wartawan tidak hanya dinilai dari kemampuan menulis dan pengetahuan luas. Kesehatan jasmani juga salah satu aspek penilaian dari integritas seorang jurnalis dalam menjalankan profesinya, dan yang paling utama dalam integritas seorang wartawan adalah profesionalisme.

Profesionalisme ini salah satunya mengutamakan pekerjaan sebagai jurnalis dan taat kepada kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik lah yang mengatur profesionalisme seorang wartawan. Oleh karena itu setiap wartawan harus berpedoman terhadap kode jurnalistik dalam menjalankan tugas.

Ada banyak tantangan dalam mempertahankan integritas wartawan. Salah satu upaya dalam mengganggu integritas wartawan adalah fenomena ‘’wartawan amplop’’. Bahkan ada pula yang menyebutnya wartawan bodrex. Istilah amplop memang rancu dan tidak bisa ditafsirkan dalam satu pengertian.

Namun berdasarkan fakta di lapangan “wartawan amplop” adalah istilah yang dipakai ketika seorang wartawan menjalankan tugasnya dan mendapatkan sebuah amplop yang biasanya berisi uang baik dari instansi maupun dari orang-orang yang berkaitan dengan berita yang dikerjakan oleh seorang wartawan.

Fenomena ‘’wartawan amplop’’ ini menjadi pro-kontra dalam kalangan para wartawan sendiri. Terkadang wartawan merasa fenomena ini berlawanan terhadap prinsip dari seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, fenomena ini tentunya melanggar kode etik jurnalistik. Karena seperti kita tahu segala hal yang berkaitan dengan uang sangat sensitif dan tentunya akan ada kepentingan di dalamnya.

Namun tak jarang “amplop” yang diberikan kepada jurnalis ini tidak diberikan maksud dan tujuan tertentu oleh pemberi amplop. Sehingga para jurnalis menganggap hal ini bukanlah salah satu usaha pemberi amplop untuk menghalang-halangi jurnalis dalam menjalankan profesinya dan menganggap hal ini sebagai bentuk apresiasi dan terimakasih masyarakat maupun instansi kepada seorang wartawan atas profesinya yang sangat penting terutama dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.

Tidak ada peraturan pasti yang menjamin dan mengatur kesejahteraan seorang wartawan. Wartawan pun menganggap fenomena ini adalah yang lumrah terjadi. Karena wartawan juga seorang manusia yang membutuhkan materi untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Fakta yang terjadi di lapangan, gaji seorang wartawan masih banyak di bawah Upah Minimum Regional atau UMR. Alasan inilah yang membuat jurnalis terpaksa melawan idealismenya dalam menjalankan tugas, dan menerima “amplop” untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menganggap “amplop” yang diterima sebagai bentuk apresiasi dan cara menghormati oleh masyarakat terhadap jurnalis, yang telah mengabdikan diri untuk memberikan informasi aktual kepada masyarakat.

Di sisi lain, fenomena ini menyadarkan kita gambaran bagaimana pentingnya profesi wartawan bagi masyarakat. Karena pemberitaan aktual yang disajikan sangat bernilai dan memang pantas untuk diapresiasi setinggi-tingginya dan tentunya memiliki harga yang mahal jika dinilai dari uang. Di sini dapat dilihat urgensi adanya aturan yang menetapkan gaji minimum wartawan hingga keuntungan yang lebih diluar gaji pun bisa didapatkan oleh seorang wartawan hanya mengandalkan dengan sebuah berita.

Dalam fenomena “wartawan amplop” ini tidak dapat dinilai dari sisi kesalahan seorang wartawan yang menerima amplop. Namun dilihat dari latar belakang mengapa adanya fenomena ini. Karena pada dasarnya segala tindakan yang terjadi memiliki hubungan sebab akibat. Tidak ada asap kalau tidak ada api.
Dan latar belakang adanya fenomena “wartawan amplop” ini antara lain kesejahteraan wartawan di Indonesia yang masih perlu diperjuangkan. Karena tidak sebandingnya pekerjaan wartawan yang penuh resiko serta kemampuan khusus yang tidak dimiliki banyak orang dengan jaminan kesejahteraan yang baik.

Maka banyak wartawan yang menganggap fenomena ‘’wartawan amplop’’ ini sebagai hal yang lumrah terjadi demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara tidak langsung profesi wartawan akan menyadarkan masyarakat betapa penting informasi dalam menegakkan demokrasi sesuai dengan perannya sebagai pilar demokrasi keempat. Jika para wartawan telah damai dalam perekonomiannya maka tidak akan ada lagi upaya-upaya untuk mengganggu integritas seorang wartawan.

Wartawan dan pers merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Wartawan merupakan profesi yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, sementara pers adalah lembaga yang menjalankan kegiatan jurnalistik. Kegiatan wartawan termasuk juga dalam kegiatan pers. Kode etik jurnalistik berfungsi sebagai landasan moral dan etika agar seorang wartawan senantiasa melakukan tindakan tanggung jawab sosial.

Kode etik jurnalistik berisi apa-apa yang menjadi pertimbangan, perhatian, atau penalaran moral profesi wartawan. Selain itu, isi etikanya juga mengatur hak dan kewajiban dari kerja kewartawanan. ***


Fitrah Dayun, Jurnalis





 
TRANS OPINI
Dilema Fenomena “Wartawan Amplop”
Antara Integritas dan Kesejahteraan
17/03/2019 | 18:53 Wib
NETRALITAS ASN PADA PEMILU 2019
Caleg Baru VS Incumbent
Waspadai "Perampokan Suara" dalam Pilkada
Tahun Baru Islam, Refleksi Umat Untuk Memperbaiki Keislaman
Setia Amanah untuk Andi Rachman
Pilkada Kota Pekanbaru 2017
SIAPA YANG BAKAL MENANG…??
Membangun Kemajuan Peradaban Islam Dengan Pendidikan Berkualitas Menuju Era Mea Di Perguruan Tinggi
 
Follow:
Pemprov Riau | Pemko Pekanbaru | Pemkab Siak | Pemkab Inhu | Pemkab Rohil | Pemkab Kampar | DPRD Rohil | DPRD Pekanbaru
Redaksi Disclaimer Pedoman Tentang Kami Info Iklan
© 2015-2016 PT. Trans Media Riau, All Rights Reserved